ASSALAMU'ALIKUM

dalam satu kesulitan ada dua kemudahan
jangan menyerah.....
allah selalu bersama kita....

Mengenai Saya

Foto saya
Indonesia
hamba Allah

Minggu, 06 November 2011

Allah yang menunjuki

by: tiut
Segala Puji bagi Allah… Alhamdulllah jemari ini menari kembali di atas keyboard. Meski terkendala teknis urusan modem, namun kerinduan ini tampaknya menemukan muaranya untuk kembali sharing dengan pembaca sekalian.
Suatu kali sang hati pernah bertanya kepada pikiran, kemana hendak kakimu melangkah bila ada kesempatan ke luar negeri? Tanpa berpikir panjang, ia langsung menjawab: pasti ke Sungai Thames di London, pasti menyenangkan di atas perahu sambil menikmati indahnya kota tua dengan bangunan yang menawan meski tua. Tempat lainnya yang ingin dikunjungi adalah Belanda. Sang pikiran membayangkan indahnya berdiri di tengah warna-warni tulip yang menggemaskan. Tak sampai di situ, sang pikiran pun meneruskan kembaranya ke ujung belahan selatan bumi, New Zealand. Alamnya yang indah, lapang yang hijau, membayangi sang pikiran kiranya bisa ke sana. Wuiiihhh…indahnya!
Sang pikiran pun tertegun sebentar kemudian menatap sang hati yang sendu tersenyum. Pikirnya, ia pun ingin tahu bagaimana dengan sang hati sendiri? Bertanyalah sang pikiran, “Wahai hati, hendak kemanakah kakimu melangkah bila kau memiliki kesempatan ke luar negeri? Aku telah memenuhi pintamu, kini giliranmu,” tanya sang pikiran pelan dan penasaran.
Sang hati pun terpejam sambil meneteskan air matanya, seakan ia merasa tempat yang akan disebutnya terlalu suci bagi hatinya yang keruh, seakan ia merasa bahwa tempat yang akan diucapkannya terlalu mulia bagi hatinya yang hina. Akhirnya sang hati pun mengucap lirih, “Jika kesempatan itu Allah berikan, aku hanya ingin berkunjung ke tempat mulia, yang di atas tanahnya terdapat jasad suci Nabi, SAW dan di tempat mulia di mana ada bangunan hitam yang merupakan pusat orbit dunia di bumi. Ya, Madinah dan Makkah. Jika pun bisa, insyaAllah, tanah waqaf dunia Islam, Al Aqsa adalah tempat ketiga itu.”
“Mengapa tempat itu?” tanya sang pikiran.
“Tempat itulah satu-satunya tempat yang Allah ridhai kunjungannya, Allah jamu langsung di rumahnya, memang bumi ini seluruhnya milikNya. Namun hanya tempat inilah yang mulia dan bergelimang pahala, apalagi, tiadalah balasan bagi orang yang berkunjung ke sana selain JannahNya. Tempat lain memang indah, namun di sanalah rumah Tuhanku, Allah. Aku rindu padaNya.”
Hmm, sang pikiran pun tertegun kembali memikirkan ucapannya dan ucapan sang hati. Begitukah? Ia bertanya lagi “Sebesar apakah keinginanmu?” Sang hati pun menjawab, “Sebesar nikmat Allah atas Islam dan Iman di dalam diriku. Bukankah nikmat Allah itu tak terhitung?” Sang pikiran pun tersenyum mengangguk. Tak lama sang pikiran pun bertanya, “Bisakah kita bersama memiliki keinginan itu? Bukankah hati dan pikiran harus bersama?” Sang hati pun menjawab, “Tentu! Karena itu kita butuh tubuh ini untuk mengamalkannya, baik aku, kau, dan tubuh ini!” Pikiran pun semangat! Yap! “Aku akan beritahukan tubuh ini segera, karena aku pun mulai berpikir, dan ku yakin kau pun setuju dengan pikiranku!” seru sang pikiran. “Apa itu?” tanya hati. Sang pikiran pun mendeklarasikan tekadnya, “Wahai hati, niatmu akan terwujud dengan keyakinan, dengan tekad. Maka aku bercita-cita demi keinginan sucimu yang tak terbantahkan. Aku, kau, dan tubuh ini bercita-cita tidak akan menginjakkan telapak kaki ini ke tanah lain, kecuali setelah menjejakkan kaki ini ke tanah suci…,” sang pikiran terhenti seketika tubuh mendengarnya.
“Ya, takkan ku tempelkan dahi ini ke bumi manapun sebelum aku menempelkan kening ini pada sujudku di depan ka’bah!”
“Woooo…..www!! Mantap itu! Bagaimana kau bisa seyakin itu, saudaraku?” tanya sang pikiran.
“Dasar pikiran, kau pantas bertanya begitu. Bukankah kita memiliki hati yang yakin? Dan cita-cita ini, bukankah itu tugasmu untuk mengimajinasikannya hingga kuat dan nyata?” tanya sang tubuh.
“Aha! Ya. Aku akan melakukannya dengan yakin,” seru pikiran.
“Alhamdulillah…!” seru sang hati, pikiran, dan tubuh bersama.
Memang tidak ada yang tahu bagaimana Allah yang Maha Mendengar akhirnya memproses obrolan ketiganya. Ketika Allah telah menggerakkan alam raya ini untuk kemudian memberangkatkan ketiganya ke tanahNya yang suci.
Sang hati, sang pikiran, dan tubuh itu pun tak bergeming dari pandangan di jendela pesawat yang membawa mereka. Haa…? Ini padang pasir ya? Ini Madinah ya? Ini benar-benar tanah yang di dalamnya ada jasad suci Nabi, SAW ya? Sejuta tanya merangkul mereka hingga hembusan panas angin padang pasir menerpa pipi sang tubuh, panas. Namun, semuanya sirna menyadari semua keMahaBesaran Allah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
“Nah, sekarang bukan waktunya membayangkan lagi, namun mari kita syukuri dengan segala hal yang bisa kita lakukan di sini untuk memenuhi kerinduan kita, kan?” seru sang hati. Sang pikiran dan tubuh pun mengamini dan berucap tasbih yang tiada henti. Sang hati tak pernah berhenti terharu menyadari kekerdilan dan kehinaan dirinya. Air matanya jatuh menganak sungai di pipi sang tubuh. Sang tubuh pun bergetar menyadari dirinya yang teramat kotor, sedang sang pikiran semakin merasa hina. Akh, memang semua mesti terasa pada titik terendah dirinya jika sudah di hadapan Rumah ini. Sang pikiran pun penasaran bertanya pada sang hati.
“Wahai hati, saat mata ini melihat Rumah Hitam itu, pertama kali, apakah yang kau rasakan sebenarnya?”
Jawab hati, “Kesenduan… keteduhan… rumah itu begitu indah, mungkin kalau ada kata lebih tinggi lagi dari indah, itulah dia. Kalau kamu?”
“Aku? Aku cuma berpikir kapan aku bisa kembali lagi,” ujar sang pikiran.
“Aamiin…!” respon si tubuh. “Malaikat pasti mengamini!”
Ketiganya pun tertawa bahagia…teringat ikhtiarnya dan doa dan amal ibadahnya yang mereka tabung. Allah itu memang magic! Kadang mereka pun masih tak percaya Allah membawa mereka ke sana! Tak pernah menyangka, ya iyalah, orang cita-cita berarti mereka memang merencanakan.
“Aku masih merasa tak pantas berada di tempat mulia ini, aku hina,” kata sang hati.
“Ya, aku juga. Allahlah yang Maha Memantaskan. Allahlah yang Sempurna,” ucap sang pikiran.
“Kita pasti bisa kembali lagi,” ucap sang hati yakin. “InsyaAllah… insya Allah… Ada jalan,” kata sang tubuh.
“Uhmm…ehm…,” sang hati melirik sang pikiran. Sang pikiran bertanya, “What’s up? Apa ada yang terlewat?”
“Uhmmm, tapi nanti kita berenam ya…! Nambah gitu jadi berenam,” ujar sang hati.
Sang pikiran pun berpikir, “Berenam ya? Maksudnya…? Hai, tubuh, kok kamu senyam senyum begitu? Memangnya kamu tahu apa?” sang pikiran melihat sang tubuh. Namun ia tak menjawab, hanya jempolnya tanda “Siip…” diangkat. Tangan satunya pun dikepal tanda setuju juga.
Sang hati pun, bilang, “Aku sendiri, engkau sendiri, ia pun sendiri, bukankah berdua itu lebih baik?” ia melirik pikiran. Sang hati berbisik, “Semoga ia paham.”
“Aaaaahaa….ya Alhamdulillah kalau begitu! Ya, aku setuju, InsyaAllah, Insya Allah, ada jalan. Yuk, mari kita cita-citakan!” seru sang pikiran gembira.
Mereka pun semakin yakin bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal baik mereka. Berhubung pesan ini selalu terngiang di benak mereka. Allah segalanya, karena itu sang pikiran pun berpesan, “Wahai hati, berdoalah dengan yakin. Aku memang punya banyak keinginan di pikiranku, namun aku rela meletakkan seluruhnya demi engkau yang mendoa. Aku letakkan semua keinginanku agar engkau beroleh ketetapan dan ketentuan hanya dari pintuNya. Dan takkan ku sertakan mereka (keinginan-keinginan nafsu dan duniaku) dalam doamu, meski aku ingin, namun aku tidak mau, aku jauhkan mereka agar engkau bertambah tenang dalam meminta di depan pintuNya.  Aku takkan menyertakannya meski dalam lintasan, karena engkau sedang berharap pada yang Maha Terbaik. Insya Allah, Insya Allah, ada jalan. Pasti!” dukung sang pikiran.
Sang hati pun menangis, “InsyaAllah, InsyaAllah, doakan aku… kelak kita bisa kembali ke Baitullah… ber-enam ya!!”
Melayanglah seluruh hasrat dan semangat ke haribaan PemilikNya, karena sesungguhnya, ruh ini sungguh merindukanNya.
“Well, do you learn something? Then Share it!”
***
Teriring doaku untuk kaum muslimin, semoga mereka pun dapat ke sana, Baitullah. Amin.
Jakarta, 25 Ramadhan 1432 H

http://tiutblog.wordpress.com/2011/08/25/516/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar